Rabu, 17 September 2008

Imam Abu Hasan al-Ash'ari & Madzhab Theologi[1]

Oleh: Nur Fadlan[2]


I. Pendahuluan


Perbincangan tentang Imam Abu Hasan al-Ash'ari tidak hanya menarik para sarjana Islam tetapi juga seorang MacDonald ikut menggeluti dalam kajian al-Ash'ari. Bukti dari bentuk antusias ini tampak dari karya-karya beliau. Adapun salah satu karya beliau yang mengkaji habis tentang Imam al-Ash'ari adalah; Development of Muslim Theology.[3]

Dari paparan di atas kita bisa menarik benang merah betapa menariknya kajian tentang Imam al-Ash'ari dan Madzhab Theologi. Di sini penulis mengajak mendiskusikan tentang Imam al-Ash'ari dan Madzhab Theologi dalam pandangan masing-masing. Tanpa harus memberi batasan-batasan tertentu, tetapi tetap dalam koridor sesuai dengan ajaran agama Islam.

Tulisan ini penulis awali dengan perjalanan hidup Imam al-Ash'ari. Baik mulai kelahirannya, guru-guru beliau, perjalanan madzhab yang pernah beliau ikuti serta lainnya yang berkaitan dengan Imam al-Ash'ari. Di sini penulis menyertakan para pakar sejarah dan para sarjana keislaman beserta buku-bukunya demi mendukung kevalitan data.

Dalam memaparkan beberapa data penulis menggabungkan literatur keislaman dengan literatur barat dengan tujuan mencari titik temu antara keduanya, hingga terbukti data yang benar-benar ilmiah.

Beberapa tulisan sarjana keislaman baik yang bersubstansi tentan Madzhab Salab dan Madzhab Aqli (Rasionalis) penulis sertakan juga dengan tujuan menyeimbangkan data antara dua sisi paradigma yang berbeda.

Di bagian berikutnya penulis memaparkan tentang dua karya yang monumental karangan Imam al-Ash'ari; yaitu kitab al-Luma' dan al-Ibânah. Dua kitab ini merupakan rujukan bagi pengikut Madzhab al-Ash'ari. Secara garis besar penulis menarik konklusi tentang substansi dari kedua kitab ini. Ruh Madzhab Aqli versi Imam al-Ash'ari terdapat dalam kitab al-Luma' sedangkan kitab al-Ibanah memaparkan tentang Madzhab Salaf versi Imam al-Ash'ari.

Di bagian berikutnya penulis juga menyertakan satu bab yang memaparkan tentang khaliyah Imam al-Ash'ari dalam Madzhab Theologi. Apakah Imam al-Ash'ari mengikuti Madzhab Aqli atau Madzhab Salaf ?

II. Tentang Imam Abu Hasan al-Ash'ari

Nama panjang beliau adalah Imam Ali bin Ismail bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Musa al-Ash'ari. Beliau adalah salah satu Imam Theologi dalam Islam.

Penjelasan tentang Imam Abu Hasan al-Ash'ari oleh Abu Qôsim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin Asâkir ad-Damsiqî dalam karyanya Tabayinu Kadhib al-Muftari fîmâ Nasaba ila Abi Hasan al-Ash'ari bahwa; Imam al-Ash'ari dilahirkan pada tahun 260 H. Penjelasan ini diperkuat juga oleh al-Khotib al-Bagdadi dalam bukunya yang berjudul Târih Bagdâd. Di samping itu Wafiyat al-A'yan karya Ibnu Kholkan menyatakan steroatif yang sama pula.[4]

Penjelasan lain mengenai Imam Ash'ari adalah; beliau lahir di Basra pada tahun 873 M, dan belajar dibawah pengawasan Imam Mu'tazilah, al-Jubbâi.[5] Pernyataan ini seirama dengan pemaparan Tafsir al-Muhtazan. Tafsir ini menjelaskan bahwa Imam Ash'ari belajar Ilmu Kalam (Theologi) kepada gurunya, Abi Ali al-Jubbâi.[6]

Ketika Imam Abu Hasan al-Ash'ari mempelajari Ilmu Kalam, beliau sangat aktif dalam mengkajinya. Pertanyaan besar dan substansial sering terlintas dalam benaknya hingga tidak jarang pertanyaan itu sering membuat para pengampunya kesulitan bahkan sesekali kebingungan.

Selain mempelajar Ilmu Kalam, Imam Ash'ari juga mempelajari Ilmu Hadist dan Fiqh. Dalam suatu riwayat Imam Ash'ari memasuki kota Bagdad untuk mempelajari Hadist. Beliau berguru dengan imam-imam besar yang sangat mempuni dalam disiplin Ilmu Hadist. Adapun guru beliau adalah al-Hafidz Zakariyâ bin Yahya as-Sâji. Beliau adalah salah satu Ahli Hadist dan Fiqh di masa itu. Di samping itu Imam Ash'ari juga belajar kepada Abi Khôlifah al-Jamhi, Sahal bin Sharah, Muhamad bin Ya'kub al-Maqori dan Abdurrahman bin Kholaf al-Basriyyin.

Di riwayat yang lain; Pada suatu malam saat Imam al-Ash'ari mempunyai masalah beliau melakukan shalat dua rakaat. Setelah selesai dari shalatnya beliau senantiasa untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT akan jalan yang lurus. Setelah itu, suatu malam beliau mimpi. Mimpi itu adalah mimpi yang sangat luar biasa, beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya Nabi Muhammad bersabda kepadanya, "Alaika Sunnati[7]"

Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sabit[8] yang lebih dikenal dengan Khotib Bagdadi mengatakan, "Abu Hasan al-Ash'ari adalah seorang mutakalim yang berpegang teguh pada al-Qur'an. Beliau sering menulis dan mengkanter balik pendapat-pendapat kaum atheis serta golongan lain seperti Mu'tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khowarij dan semua golongan yang mengandung unsur bid'ah.[9]

Imam Ash'ari senantiasa memperhatikan perbuatan dan bentuk keangkuhan kelompok Mu'tazilah. Bukti konkrit keangkuan mereka salah satunya adalah; Kelompok Mu'tazilah tidak akan menundukkan kepalanya hingga benar-benar melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Keangkuan yang sangat luar biasa seperti ini, hingga membuat Imam Ash'ari mengambil tindakan.[10]

Ibnu Farhun dalam kitabnya ad-Dhibân mengatakan bahwa; Abu Muhammad bin Abi Zaid al-Qoiruwani dan kaum muslimin lainnya, memuji kepada Imam Abi Hasan al-Ash'ari. Ini menandakan bentuk simpatik kaum muslimin terhadap beliau. Entah dari sisi aqidah ataupun sisi lainnya pastinya beliau tetap dalam koridor jalan yang benar. Yaitu sesuai dengan al-Qur'an dan al-Hadist.

Dalam suatu riwayat Abu Imad al-Hambali dalam kitabnya as-Syadharât pada juz dua halaman 303 memaparkan bahwa; Imam Abu Hasan al-Ash'ari adalah Imam yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat tidak setuju dengan pandangan-pandangan kaum Mu'tazilah dan golongan Jahmiyah. Ketidak setujuan beliau pada kelompok bid'ah bisa dilihat pada perdebatan beliau dengan gurunya, al-Jubbâ'i.

Adapun debat mereka adalah sebagai mana yang dijelaskan oleh Ibnu Kholkan bahwa; Imam Abu Hasan al-Ash'ari pernah bertanya kepada gurunya tentang tiga hal. Yang pertama, tentang orang mu'min yang sholih. yang kedua, tentang orang kafir yang fasiq. Dan yang terakhir tentang anak kecil.

Pertanyaan beliau tentang tiga keadaan manusia. Imam Ash'ari bertanya mengenai keadaan dari masing-masing tiga manusia sebagaimana di atas jika meninggal dunia. Al-Jubbâi menjawab pertanyaannya. Orang yang Zuhud terhadap dunia maka ia berhak mendapat derajat di sisi Tuhannya. Sedangkan orang-orang kafir mereka akan mendapat tempat kembali yang sangat buruk. Adapaun mengenai keadaan anak kecil mereka adalah termasuk golongan yang selamat.

Imam Ash'ari balik bertanya lagi, apakah anak kecil yang meninggal akan memperoleh derajat seperti halnya derajat yang diperoleh golongan Zuhud. Al-Jubbâi mengatakan Tidak ! !, karena sesungguhnya untuk mencapai derajat seperti halnya seorang Zuhud haruslah melakukan taat yang sangat luar biasa. Adapun dalam kontek ini seorang anak kecil yang meninggal belum pernah melalui perjalanan penjang ketaatan pada Allah SWT.

Imam Ash'ari mengatakan bahwa jawaban seperti itu masih belum sempurna dan integral. Secara logika mana mungkin anak kecil bisa melakukan ketaatan pada Allah SWT. Al-Jubbâ'i mengatakan; Tuhan Yang Maha Esa sangat mengetahui keadaan hambanya. Dia tau siapa dari golongan hambanya yang taat atau yang membangkang. Para golongan yang taat senantiasa akan diberi ni'mat sementara para golongan yang membangkan atas perintah-Nya akan mendapat balasan yang setimpal, siksa.

Imam al-Ash'ari balik bertanya kepada al-Jubbâi; ketika kakakku alimnya sealim diriku. Bagaimana dengan studi kasus seperti ini? al-Jubbâi menjawabnya dengan analog praktis. Ibnu Imad berkata; Allah SWT telah menentukan siapa golongan yang akan mendapan ampunan dan golongan yang tidak mendapat ampunan.[11]

Diriwayatkan oleh Tajuddin as-Subki dalam kitabnya Thobaqot as-Syafi'iyah al-khubri. Abu Hasan al-Ash'ari adalah ulama' besar dari golongan Ahlus Sunnah setelah Imam Ahmad bin Hambal. Aqidahnya mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal.[12] Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan beliau tentang aqidahnya; Aqidah saya adalah aqidah imam besar Ahmad bin Hambal. Di sisi lain beliau juga menjelaskan aqidahnya langsung lengan lisan.

Ibnu Asyâkir berkata; menurut pengikut Madzhab Maliki Abu Hasan al-Ash'ari mengikuti Mazdhab Maliki, sedangkan menurut pengikut Madzhab Syafi'i Imam Abu Hasan al-Ash'ari mengikuti Madzhab Syafi'i demikian juga menurut pandangan pengikut Madzhab Hanafi. Oleh karennya bisa kita katakan bahwa Imam al-Ash'ari adalah golongan dari Ahli Sunah.[13]

Ibnu Furak berkata Abu Hasan Al-Ash'ari meninggal pada tahun 324 H.[14]

Penjelasan mengenai Imam al-Ash'ari terdapat dalam kitab Târih al-Islam karya al-Dahabi, Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah, Thobaqot as-Syafi'i, Tâju as-Subqi dalam kitabnya Thobaqot as-Syafi'iyah al-Qubri, Ibnu Ibnu Farhub al-Maliki dalam kitabnya ad-Dibâz al-Madzhab fi A'yan Ahlul al-Madzhab, Murtadzî az-Zabidhi dalam kitabnya Itihâf as-Sâdah al-Mutaqîn bisarhi Asrôr Ihya' Ulumuddin serta Ibnu Imâd al-Hambali dalam kitabnya Syadarak ad-Dzahab fi A'yân min Dhahab.

III. Dua Karya Monumental Imam al-Ash'ari Tentang Madzhab Theologi

1. Kitab al-Luma'

Di antara pemikir sempat terjadi perdebatan panjang mengenai keberadaan kitab ini. MacDonald, Tarîtan dan kaum salafiyah mengatakan bahwa kitab Ibânah di tulis lebih akhir oleh Imam Ash'ari dari pada kitab al-Luma'.[15]

MacDonald dan kelompok salaf menganggap kitab al-Luma' sebagai kitab yang bersubstansi Madzhab Salaf (Madzhab Rasionalis).[16]

Analisa penulis kitab ini ditulis demi menjawab keadaan paradigma teologis masa itu. Perjalanan sejarah mencatat; antara tahun 150 sampai 200 tahun Hijriyah para sarjana Islam baru mengenal Ilmu Mantiq (logika). Dari sini bisa kita tarik benang merahnya bahwa para pemikir Islam antara tahun 150 sampai 200 H belum begitu terpengaruh dengan Mantiq Aristo yang diusung para pemikir Yunani.

Tetapi berbeda dengan paska tahun 200 Hijriyah, para sarjana Islam bisa dibilang sudah sangat akrab dengan Ilmu Mantiq. Secara otomatis gaya berfikir (logika) mereka akan berbeda dengan sebelum mengenal Mantiq, termasuk dalam urusan teologi.

Imam Abu Hasan al-Ash'ari hidup antara tahun 260 samapai 324 H, hal ini menyebabkan digma beliau tentang teologi disajikan sesuai proposialnya. dengan kata lain; diplomasi atau technical language harus sesuai dengan digma masyarakat masa itu. Seandainya menyampain tentang teologi dengan metode klasik pastinya orang-orang masa itu ada yang belum bisa menerima secara komprehensif dan siklikat. Fenomena ini yang menjadi sebab kenapa kitab al-Luma' di tulis.

Singkatnya, Imam Abu Hasan al-Ash'ari menulis kitab ini setelah beliau meninggalkan Madzhab Mu'tazilah yaitu sekitar tahun 300 Hijriyah.

2. Kitab al-Ibânah

Di dalam muqadimah kitab al-Luma' fi al-Rad ala Ahli al-Zîg wal al-Bid'a Imam Ash'ari mengisyaratkan akan menghadirkan kitab al-Ibânah yang mengacu pada aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Seperti yang kita ketahui Imam Ahmad mengambil aqidah yang tawatir pada Rosulullah SAW. Beliau tetap mempertahankan kisi-kisi ajaran Rosulullah dalam memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan katauhidan.[17]

Di masa itu, paradigma tentang teologi sedikit demi sedikit bergeser dari ajaran Rosulullah. Pola pikir manusia yang dangkal menempati otoritas tertinggi dalam memahai aspek-aspek ketauhidan. Ayat-ayat dalam kitab suci mereka tafsirkan secara harfiah tanpa melawati sebuah penelaahan yang mendalam.

Mereka membuat analog sederhana untuk menginterprestasikan sifat-sifat Allah SWT. Al-Qur'an menjelaskan bahwa menusia adalah mahluk yang paling sempurna. Dari sini mereka terus berupaya untuk menyederhanakan dalam memahami Sang Pencipta. Tuhan Yang Maha Esa mereka anggap seperti manusia dalam analog praktis komponen atau organ dari manusia merupakan inspirasi Tuhan dalam menciptakan manusia.

Mereka mengangkat beberapa contoh dalam ayat al-Qur'an yang menguatkan argumen mereka. Lafal al-wajh dan al-yadâin mereka inteprestasikan seperti keadaan manusia. pemahaman seperti ini muncul pada golongan Mu'tazilah, Hurûriyah dan Jahmiyah.[18]

Di samping itu, seiring dengan kemunculan kitab al-Ibânah ternyata ada juga kitab al-Luma'. Di antara pemikir sempat terjadi perdebatan panjang mengenai keberadaan dua kitab itu. MacDonald, Tarîtan dan kaum salafiyah mengatakan bahwa kitab Ibânah di tulis lebih akhir oleh Imam al-Ash'ari dari pada kitab al-Luma'.

Kelompok MacDonald dan kaum salaf berbeda dalam meneliti dua kitab tersebut. Mereka mengatakan al-Luma' merupakan kitab tentang Madzhab Aqli (Madzhab Rasionalis) sedangkan Ibânah menjelaskan tentang Madzhab Salaf. Di samping itu kelompok MacDonald mengatakan bahwa Imam al-Ash'ari meninggalkan Madzhab Aqli dan mendukung pendapat Imam Hambali paska perjalanan beliau dari Bagdâd menjelang akhir hidupnya.

Pendapat lain mengatakan bahwa Imam Ash'ari dalam penulisan kitab Ibânah ada visi terselubung yaitu pembelaan terhadap Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi pendapat ini mendapat reaksi keras dari para pemuka Madzhab Salaf. Mereka membalik dan memotong pendapat golongan ini dengan statemen; Imam Ash'ari memilih madzhab salaf karena beliau sudah mengetahui kebenaran dan kebathilan. Beliau berpindah dari madzhab Mu'tazilah ke madzhab Aqli. Karena beliau masih belum mendapat ketenangan sehingga pada akhirnya beliau mengambil jalan final yaitu Madzhab Salaf.[19]

Dari fenomena di atas muncul salah satu pendapat yang mengatakan bahwa Imam al-Ash'ari adalah sosok muka dua. Tampak dari karya-karya beliau yang secara implisit bisa disimpulkan bahwa beliau adalah sosok seperti itu. Apalagi ketika beliau berpindah dari Madzhab Mu'tazilah ke Madzhab Aqli (Rasionalis) dan pindah lagi ke Madzhab Salaf hingga pada akhirnya kelompok ini menarik benang merah bahwa Imam al-Ash'ari adalah seorang munafik.

Pendapat itu diambil dari tulisan Sheikh Al-Fadil Muhamad bin Abdur Rahman Al-Khomîs dalam muqodimah kitabnya I'tiqôd Ahli al-Sunah Syarah Ashâbil Hadist. Secara lebih jelas mereka mengatakan bahwa historis penulisan kitab Ibânah dan kitab al-Maqolah adalah upaya menyenangkan kelompok Hanabilah dan rasa takut Imam Ash'ari terhadap posisi dirinya.

Pendapat seperti di atas adalah sangat berbahaya. Pandangan yang sangat tidak layak dituduhkan kepada Imam Ash'ari. Tuduhan itu hanyalah fitnah yang berujung pada kepentingan golongan. Seperti yang kita ketahui bahwa Imam Ash'ari berpindah aqidah karena jalan kebenaran yang sudah tampak di depannya. Beliau sudah paham seiring dengan perjalanan waktu antara mazdhab yang benar dan mazdhab yang salah. Golongan yang sangat terpukul atas perpindahan madzhab beliau hingga mengambil jalan pamungkasnya, fitnah.

Pendapat Abu Amdu mengatakan bahwa dua kitab Imam Ash'ari; al-Ibânah dan al-Maqôlat merupakan karya beliau yang bersubstansi Mazdhab Salaf. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa sisi historis penulisan kitab itu adalah bentuk dukungan kepada Imam Ahmad. Seperti yang tersurat dalam kitab I'tiqôd Ahli al-Sunah Syarah Ashâbil Hadist adalah tidak benar.

Fakta sejarah menyebutkan secara jelas bahwa Imam al-Ash'ari sebenarnya pernah mengikuti jalan Ibni Kalâb al-Basyri. Tapi yang perlu digaris bawai adalah beliau berpindah dari jalan ini ke jalan yang lain. Secara kronologis pada awalnya beliau menganut faham Mu'tazilah setelah itu mengikuti Mazdhab Ibnu Kalâb setelah jalan ini, beliau menetapkan hatinya untuk memilih Aqidah Salaf.[20]

Beliau mengajak kepada kaum muslimin waktu itu untuk mengikuti ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dengan tetap berpedoman pada ajaran al-Qur'an dan al-Hadist.

Mengenai kitab al-Ibânah adalah bentuk dari pilihan beliau untuk mengikuti ajaran Imam Ahmad bin Hambal dalam beraqidah. Beliau mengikutinya atas dasar kebenaran ajaran itu bukan karena pertimbangan takut akan kondisinya atau menarik simpatisan kaum muslimin atas beliau.

IV. Imam Abu Hasan al-Ash'ari; Salafi atau Rasionalis (Madhab Aqli)

1. Versi Pengikut Madzhab Salaf

Dalam salah satu riwayat al-Hafidz Mu'raj as-Syam abu al-Qôsim Ali bin al-Hasan bin Hibatullah bin Asâkir ad-Damsiqi[21] dalam kitabnya at-Tabayyin mengatakan; Abu Bakar Ismail bin Abi Muhammad bin Ishak al-Azadhi al-Qîrawâni[22] berkata sesungguhnya pada awalnya Abu Hasan Al-Ash'ari adalah Mu'tazilah. Beliau mengikuti madzhab ini selama empat puluh tahun. Beliau adalah salah satu imam besar Mu'tazilah kala itu. Karena suatu hal akhirnya beliau mengurung diri di dalam rumahnya selama lima belas hari.

Setelah mengurung diri dalam rumah beliau pergi ke salah satu masjid yang ada di Basrah. Di sana beliau naik mimbar setelah ibadah Shalat Jum'at.

Imam Ash'ari mengatakan, "Hai sekalian manusia, setelah saya melewati penyendirian selama lima belas hari, saya mendapat petunjuk akan sesuatu hal yang benar dan sesuatu hal yang salah. Allah SWT telah memberi petunjuk kepadaku akan kebenaran itu. Dia menguruhku untuk kembali kepada kitab-Nya secara seutuhnya. Saya akan melepaskan madzhabku yang dulu seperti aku melepaskan pakaianku ini. Saya melepaskan pakain adalah sebuah ibarat akan madzhabku masa lalu. Saya akan kembali pada al-Kitab dan al-Hadist secara siklikat."

Refleksi dari kembalinya Imam Ash'ari pada madzhab yang haq. Dia akan menyertainya dengan pembuatan sebuat kitab. Beliau akan menyelesaikan tulisan kitab al-Lumâ dan al-Ibânah, Ingsyaallah. Kitab itu bersubstansi mengenai pandangan Ahli Hadist dan Figh dari ulama' Ahlus Sunnah.[23]

Demikian juga Imam Ash'ari dalam mempengarui Madzhab Mu'tazilah. Beliau memaparkan bahwa madzhab Mu'tazilah adalah bathil. Setelah mengetahui hal tersebut akhirnya dia istirahat dan melanjutkan pengembaraannya yang serupa dengan Harun bin Musa al-A'yur.

Kisah dari Harun bi Musa al-A'yur, pada awalnya beliau adalah golongan Yahudi kemudian masuk Islam. Setelah masuk Islam beliu menjadi muslim yang sangat taat. Bahkan dia menghafal al-Qur'an dan menjaganya dengan sangat baik. Di samping itu beliau juga mempelajari disiplin Ilmu Nahwu.

Para Imam Ahli Hadist sepakat bahwa Imam al-Ash'ari adalah salah satu dari Imam Ahli al-Hadist. Madzhabnya Madzhab Ahli al-Hadist. Ketika berpendapat mengenai Usuliddiyanah beliau menggunakan jalan Ahlus Sunnah. Beliau sering mengkanter balik pendapat-pendapat miring Ahli Al-Zieq dan Ahli Al- Bid'ah.

Abu Bakar bin Furuq mengatakan bahwa Imam Abu Hasan Al-Ash'ari meninggalkan madzhab Mu'tazilah dan kembali ke madzhab Ahlu Sunnah pada tahun 300 H. Bertepatan dengan tahun 879 M.

Di dalam penjelasan yang lain, seperti dalam kitab Wa fiyat A'yân juz dua halaman 447 karangan Abu Abas Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin Kholakan as-Syafi'i[24] tersurat bahwa pada awalnya Imam Hasan al-Ash'ari menganut Madzhab Mu'tazilah kemudian bertaubat.

Di samping itu dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah karangan Imaduddin Abu Fada' Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy ad-Damsiki[25] mengatakan bahwa; sesungguhnya Imam al-Ash'ari pada awalnya adalah Mu'tazilah kemudian dia bertaubat. Deklarasi pertaubatan beliau adalah di atas mimbar salah satu masjid di Basroh. Di samping itu beliau juga menjelaskan mengenai hal-hal yang mengganjal dalam ajaran Mu'tazilah.

Dalam salah satu riwayat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Damsiki as-Syafi'i[26] dalam kitabnya al-Ulû lil Alî al-Ghôfar bahwa pada dasarnya Imam al-Ash'ari adalah Mu'tazilah mengikuti Abi Ali al-Jubbâi. Seiring dengan berjalan waktu Imam al-Ash'ari berbalik menjadi oposisi madzhab Mu'tazilah bahkan sering mengeluarkan argumen balik terhadap pandangan miring kaum Mu'tazili. Setelah itu beliau menjadi seorang Mutakalim Sunni. Dan senantiasa sependapat dengan imam-imam Ahli al-Hadist yang lain.

Mengenai kembalinya Imam al-Ash'ari kepada madzhab haq. Tajuddin Abu An-Nasr Abdul Wahab bin Taqiyuddin as-Subki[27] mengatakan Abu Hasan al-Ash'ari menganut Madzhab Mu'tazilah selama empat puluh tahun. Kemudian menjadi Imam Besar Madzhab Mu'tazilah. Kemudian beliau mengurung diri di rumahnya. Hal ini seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu Asâkir.[28]

Di samping itu, Burhanuddin Ibrahim bin Ali bin Muhammad bin Farhûn al-Yu'mari al-Madanî al-Maliki[29] bahwa Abu Hasan al-Ash'ari pada awalnya adalah Mu'tazilah. Kemudian kembali kepada Madzhab Haq yaitu Madzhab Ahlus Sunnah. Hal ini dikarenakan perjalanan spiritual panjang beliau. Salah satunya adalah mimpi bertemu dengan Rosulullah. Dalam mimpinya Rosulullah SAW memintanya untuk kembali kepada madzhab yang haq.[30]

Penjelasan lain tentang Imam Ash'ari adalah seperti yang termaktub dalam kitab Itihâf as-Sâdah al-Muttaqin bisarhi Asrôri Ihya' Ulumuddin juz dua halaman 3 karangan Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Hasîni az-Zabîdzi[31] mengatakan bahwa; Abu Hasan al-Ash'ari mengambil Ilmu Kalam dari Abi Ali al-Jubbâi. Beliau adalah Imam Besar Madzhab Mu'tazilah. Kemudian dalam salah satu malam Imam al-Ash'ari mimpi bertemu dengan beliau. Beliau mengatakan kepada Imam Ash'ari untuk kembali kepada Madzhab Ahli Sunnah.

Beliau sangat menyesal dengan Madzhab Mu'tazilah. Setelah beliau memahami bahwa madzhab yang selama ini beliau anut adalah bathil maka beliau senantiasa memberi kanter balik terhadap stereoatif kurang pas Madzhab mu'tazilah.[32]

2. Versi Pengikut Madzhab Aqli (Rasionalis)

Madzhab aqli (Rasionalis) kebanyakan dari pemikir sering menyebutnya dengan Madzhab al-Ash'ari. Sebagaimana yang ditulis MacDanold; ...Afterwards, when they looked back upon it, the tendency of human mind to ascribe broad movement to single men asserted itself and the whole was attributed to the name of Abu al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Ash'ari (d. c. 330/945). It is true that with him the change suddenly leaped into self-consciousness, but it had already been long in progress....[33]

Pernyataan ini menggaris bawai penisbatan nama perintis madzhab dengan Madzhab Aqli (Rasionalis). Hingga pada akhirnya penulis menarik benang merah bahwa yang kita kenal sebagai Madzab al-Ash'ari adalah Madzhab Rasionalis (Aqli).

Menurut para pengikut Madzhab al-Ash'ari; Madzhab yang bergaya rasionalis ini adalah Madzhab yang bisa diaplikasikan dalam perjalanan sejarah theologi Islam. Bisa dilihat pada, para tokoh besar yang turut andil dalam melestarikan madzhab ini hingga sekarang. Hal ini merupakan kesuksesan yang sangat luar biasa karena madzhab ini bisa diaplikasikan dengan sangat baik dari masa ke masa.

Adapun tokoh besar yang ikut serta dalam menyebar luaskan dan menguatkan Madzhab al-Ash'ari adalah; pertama al-Baqilani, kedua al-Juwaini dan al-Ghozali. Membincang tentang tiga tokoh ini perihal theologi memerlukan waktu yang sangat panjang. Maka penulis pada kali ini hanya akan mengambil satu sampel saja, Abu Hamid al-Ghozali.

Abu Hamid al-Ghozali dilahirkan pada tahun 1058 M di Tûs, sebuah kota kecil yang terletak di Meshhed (bagian timur laut Iran).[34] Beliau adalah sosok ensiklopedis yang dimiliki oleh Islam.

Kesuksesan Imam al-Ghozali dalam menyebar luaskan Madzhab al-Ash'ari tampak pada hal-hal berikut; pertama, Imam al-Ghozali dalam tehnical language menggunakan Mantiq Bayani. Metode ini merupakan metode yang sangat sesuai untuk memaparkan permasalaahan theologi kepada masyarakat masa itu. Mantiq Bayani mampu menjelaskan basic-besic theologi dengan sangat gamblang dan sangat mudah diterima.

Kedua, Imam al-Ghozali hidup pada waktu Dinasti Saljuk berkuasa. Pemerintahan pada masa itu sangat mendukung pandangan theologi versi Madzhab al-Ash'ari. Sehingga dalam beberapa kurun Madzhab al-Ash'ari pernah dijadikan madzhab pemerintah. Ini adalah bentuk kesuksesan yang sangat luar biasa karena implementasi Madzhab yang didukung oleh penguasa.

Di samping itu, Imam al-Ghozali adalah salah satu sheikh dalam Madrasah Nidhomiyah. Madrasah ini berdiri dibawah kekuasaan Dinasti Saljuk hingga penyampaian masalah theologi memakai Madzhab al-Ash'ari. Pemerintah pada masa itu sangat menekankan kepada Madrasah Nidhomiah untuk senantiasa memulai pengajaran theologi dengan madzhab yang sesuai dengan madzhab negara. Upaya seperti ini oleh Imam Abu Hamid al-Ghozali sering disebut dengan bentuk hidmah terhadap negara.

Ketiga, dalam urusan Fiqh Imam al-Ghozali mengikuti Madzhab as-Syafi'i sedangkan dalam Tasawub Imam al-Ghozali mengikuti Madzhab Sunni. Dua hal ini yang mengakibatkan para muslimin pada masa itu mengikuti Imam al-Ghozali, termasuk dalam beraqidah.

V. Kesimpulan dan Penutup

Setelah membincang panjang lebar tentang Imam Abu Hasan al-Ash'ari dan Madzhab Theologi tentunya kita akan membutuhkan sebuah kesimpulan. Penulis hanya memberi cetak biru terhadap korelasi antara Imam al-Ash'ari dengan Madzhab Theologi.

Pertama, Imam Abu Hasan al-Ash'ari selama empat puluh tahum mengikuti Madzhab Mu'tazilah dengan gurunya al-Jubbâi. Setelah itu beliau memiliki pandangan tersendiri dalam urusan theologi.

Kedua, apakah Imam al-Ash'ari menganut Madzhab Salaf atau Menganut Madzhab Aqli? Pertanyaan ini rasanya ingin penulis ketengahkan kepada para pembaca. Karena pada dasarnya diskusi yang baik adalah diskusi yang tidak ada akhirnya. Sengaja pada cetak biru yang kedua ini penulis buat menggantung.

Akhirnya penulis memberikan salam kepada Rasulullah SAW, para sahabat, ahli bait dan para pembaca sekalian. Secara pribadi penulis meminta koreksi ulang jika terdapat ketidak sesuaian EYD maupun substansial, beriringan dengan meminta ma'af kepada semuanya.



[1] Disampaikan dalam diskusi Husnami Revival, tanggal 2 September 2008 di Sekertariat NU (Nahdhatul Ulama') H-10, B2. karya non fiksi ke-40

[2] Mahasiswa al-Azhar University; Fakultas al-Syariah wal al-Qonun; Second Year

[3] Majid Fakhiy, Some Paradoxical Implication of the Mutazilite View of Free-will, The Muslim World, Vol.XLIII, 1953, pp. 95-109

[4] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 5

[5] Al-Ash'ari: Formating Period, 303-12; Sezgin, GAS, i.602-4; R. J. McCarthy, The Theology of al-Ash'ari, Beirut 1953, has texs and translations of important works, including the Luma'; Walter C. Klein, Ash'ari's al-Ibanah, New Haven 1940; George Makdisi, 'Ash'ari and the Ash'arites in Islamic Religious History, Studia Islamica, xvii(1962), 37-80 and xviii (1963), 19-39; Michel Allard, Le problème des attributes divins dans la doctrine d'al-Ash'ari et de ses premier grands disciples, Beirut 1965, esp. 173-285

[6] Op cit. hal. 5

[7] Ikutilah Aku (Sunnahku)

[8] Meninggal pada tahun 463 H

[9] Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sabit. Târih al-Masyhur. Pada juz 16. Hal 347

[10] M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim Philosophy, Adam Publisher & Distributors, Delhi, 1994, hal. 25

[11] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 6

[12] W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh University Press 22 Greorge Square, Edinburgh, 1985, hal. 67

[13] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 7

[14] Ibid, hal. 7

[15] Op cit, hal. 2

[16] Lihat artikel MacDonald; 'An Outline of the History of Scholastic Theology in Islam, in The Moslem World.

[17] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 1

[18] Abi al-Qosim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin Asâkir ad-Damsyiqî, Tabayyin Kadhib al-Muftarî, (Editing kitab; Muhamad Zâhid al-Khautsarî), Maktabah al-Azhar li Tsurôs, Kairo, 1999, hal. 125

[19] Op cit, Hal. 2

[20] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 3

[21] Meninggal pada tahun 571

[22] Beliau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Azarah

[23] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 8

[24] Beliau meninggal pada tahun 681 H

[25] Beliau meninggal pada tahun 774 H

[26] Beliau lebih dikenal dengan ad-Dâhabi, meninggal pada tahun 748 H

[27] Beliau meninggal pada tahun 771 H

[28] Tajuddin Abu an-Nasr Abdul Wahab bin Taqiyuddin as-Subki, Tobaqôt As-Syafi'i Al-Kubri, juz dua hal. 246

[29] Beliau meninggal pada tahun 799 H

[30] Burhanuddin Ibrahim bin Ali bin Muhammad bin Farhûn al-Yu'mari al-Madanî al-Maliki, ad-Dhibâj al-Madzhab fi Ma'rifati A'yân Ulama'u Madzhab, hal. 193

[31] Beliau lebih dikenal dengan Murtadzi al-Hanafi, meninggal pada tahun 1145 H

[32] Imam Abi Hasan Ali bin Ismail al-Ash'ari, Ibanah an Usuli Diyanah, (Tahkik kitab; Abu Amdu Muhamad bin Ali bin Raihân), Dar Ibanah, Kairo, 2007, hal. 9

[33] Cf. D.B. MacDonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, London, 1903, pp. 186, 187; cf. also his article, 'An Outline of the History of Scholastic Theology in Islam, 'in The Moslem World, Vol. XV, 1925, pp. 140-8.

[34] W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, Edinburgh University Press 22 Greorge Square, Edinburgh, 1985, hal. 86

Ibânah Volt. 2

Oleh: Nur Fadlan

Ucapan Syukur; Bagian dari Kitab al-Ibânah

Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam pembukaan kitabnya 'al-Ibânah' megawali dengan ucapan syukur kehadirat Allah SWT. Puji syukur merupakan do'a yang paling mulia sehingga beliau senantiasa menulis ucapan syukur dalam pembukaan kitabnya.

Sedangkan Abu Amdû Muhamad bin Ali bin Raihân 'pentahkik kitab al-Ibânah' memberikan beberapa penjelasan tentang keutamaan rasa syukur terhadap Allah SWT. Beliau mengutib beberapa pertanyaan dari para sarjana Islam tentang konsep syukur terhadap Allah SWT. Diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Ikhtiyârât al-Fiqhiyah tentang al-Hamdalah. Dalam sebuah riwayat nabi Muhamad SAW senantiasa membuka khotbah hari dua hari raya (Idul Adha dan Idul Fitri) dengan bacaan al-Hamdalah.

Di samping itu, peneliti kitab al-Ibânah menyertakan juga tulisan-tulisan sarjana Islam kenamaan tentang al-Hamdalah. Adapun mereka adalah sebagai berikut; Imam Ibnu al-Qoyim dalam kitabnya Zâdu al-Muâd, Sheikh Shâlih bin Fauzân bin Abdullah al-Fauzân dalam kitab al-Aqîdah al-Wâsatiyah, Sheikh Hâfidz bin Ahmad Hakamî dalam kitabnya Maârij al-Qobûl.

Imam Muhamad bin Ali bin Raihân di samping memaparkan beberapa pendapat para sarjana Islm kenamaan, beliau juga menyertakan al-Hadist yang memiliki substansi yang sama, menjelaskan tentang al-Hamdalah. Adapun al-Hadist yang beliau ketengahkan adalah sebuah Hadist yang pernah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam an-Nasa'i, Imam Bukhori dan Sheikh Hasan al-Bânî. Hadist yang beliau ketengahkan adalah Hadist pada tingkatan Hadist Hasan.

Hadist riwayat Imam at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Habân, al-Hakim dan Sheikh Sheikh al-Bânî juga beliau ketengahkan. Hadist ini memjelaskan tentang al-Hamdalah. Di samping itu para Ahli Hadist mengelompokkan Hadist ini ke dalam klasifikasi Hadist Hasan.

Hadist terakhir yang beliau ketengahkan adalah Hadist riwayat Ibnu Majah dan Sheikh al-Bânî dalam kitabnya Shohîhu al-Jâmi'. Hadist ini juga termasuk Hadist yang tergolong dalam kategori Hadist Hasan.

Di penghujung pemaparan terhadap beberapa Hadist yang menjelaskan tentang al-Hamdalah, Imam Muhamad bin Ali bin Raihân mengkaji tentang ma'na al-Hamdu dan as-Syukru. Dua kata ini terdapat sedikit perdebatan; Apakah keduanya memiliki ma'na yang sama atau diantaranya memiliki ma'na yang berdiri sendiri. Pendapat pertama mengatakan tentang dua kalimah (kata) ini adalah bentuk dari persamaan. Pendapat ini diambil dari pemikiran Ibnu Jarir at-Thobarî (seorang penafsir) dan Ja'far as-Shôdiq.

Tentang pendapat yang kedua, menganggap dua kalimah ini adalah memiliki arti substansial yang berbeda. Pendapat ini diambil dari pemikiran Ibnu Taimiyah. Beliau berpendapat tentang perbedaan dua kalimah tersebut. Cetak biru dari inteprestasi dua kata itu adalah; al-Hamdu mengandung makna bentuk pujian kepada Sang Pencipta. Sedangkan as-Syukru memiliki arti bentuk terima kasih terhadap ni'mat Tuhan. Implementasi dari syukur ini bisa diwujudkan melalui hati, lisan dan perbuatan.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa; al-hamdu adalah bentuk yang sering dilakukan oleh hati dan lihan. Sedangkan as-Syukru merupakan tindak lanjut dalam tataran praktis.

Tentang Ilustrasi Tuhan

Dalam aqidah Mu'tazilah menganggap Tuhan tidak berilustrasi. Kelompok Mu'tazilah sepakat kalau Allah itu satu tidak seperti alam yang fana. Dia adalah Maha Mendengar, Maha Melihat dan tidak memiliki komposisi tubuh. Dia tidak seperti setan dan tidak seperti mayit (bangkai) atau jasad renik. Dia tidak berilustrasi dan tidak memiliki daging dan darah.[1]

Sedangkan menurut Ahlu Sunnah wa al-Jamâat menyatakan pendapatnya yang berbeda dengan kelompok Mu'tazilah. Mereka mempercayai ilustrasi tentang Allah SWT. Tentunya ilustrasi yang dimiliki Allah merupakan ilustrasi yang sempurna yang tidak ada padanannya.

Sheikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Aqidah al-Wâsatiyah mengatakan; Barang siapa yang iman kepada Allah tentunya harus iman pada sifat-sifat-Nya yang telah dijelaskan dalam kitab-Nya yang agung.

Kelompok Ahlus Sunnah mengambil dalil aqli yang menguatkan tentang konsep Ilustrasi Allah SWT. Tentang dalil aqli yang mereka ketengahkan sebagai penguat tentang Ilustrasi atas Allah adalah; Hadist riwayat Imam Ahmad, Imam Tirmidzî dan Sheikh al-Bânî. Adapun Nash Hadistnya sebagai berikut; "telah mendatangiku Tuhanku pada sebuah malam dengan sebaik-baik bentuk (ilustrasi)".

Di samping Hadist di atas, kelompok Ahlus Sunnah juga menegang Hadist seirama yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim tentang konsep ilustrasi Allah SWT.

Dalam Surat al-A'raf ayat 11, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: 'Bersujudlah kamu kepada Adam', maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud."

Dari ayat ini, Sheikh bin Usaimîn mengatakan bahwa; ilustrasi atas Allah itu tidak ada. Yang memiliki ilustrasi bentuk hanyalah mahluknya, termasuk manusia.[2] walaupun alih-alih dalam salah satu Hadist pernah mengatakan kalau ilustrasi Allah itu ada. Dan bentuknya tentunya lebih sempurna dari pada ilustrasi mahluknya, manusia. Beliau merasa seandainya Allah memiliki ilustrasi yang paling baink, kenapa dalam salam salah satu ayat-Nya, Dia berfirman dalam Surat at-Tiin ayat 4; "sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."

Dari ayat ini kita bisa menarik benang merah kalau Allah SWT tidak memiliki ilustrasi. Kalaupun Dia memiliki ilustrasi kenapa berfirman dalam salah satu ayat al-Qur'an tentang bentuk ilustrasi manusia adalah sebaik-baik bentuk. Bukannya bentuk ilustrasi terbaik itu hanya milik-Nya. Kalau demikian berarti kita dapat menarik konklusi kalau Allah tidak memiliki ilustrasi. Dua ayat di atas telah menjelaskan secara tersurat tidak adanya ilustrasi Allah SWT. Allah SWT tidak seperti apapun. Dia tidak ada padanannya dan berdiri sendiri.

Dalam penjelasan Imam ad-Dzahabî dalam kontek ilustrasi atas Tuhan; sebenarnya Hadist tentang ilustrasi Allah adalah atas Allahlah yang mengetahui bentuknya. Dalam hal ini Rosulullah SAW lebih memilih diam ketika perbincangan masalah ini diangkat. Hal yang sama 'memilih diam' juga digunakan oleh generasi salaf.[3]

Menurut beliau, dalam kontek Hadist tentang ilustrasi Allah ada titik tertentu yang belum dipahami oleh para pengkajinya secara siklikat. Adapun nasul Hadisnya adalah sebagai beriku; "Ala Shouratihi".[4] Pandangan beliau tentang Hadist ini adalah ada dzomir (kata ganti) setelah kata Shouratihi. Menurut pandangannya dzomir ini kembalinya bukan kepada Allah tapi kembali pada manusia dan mengsifatinya. Pandangan ini menurut mayoritat pemikir Islam adalah pandangan paling rajih (dipakai secara mayoritas).

Pandangan Ibnu Khutaibah tentang konsep ilustrasi Tuhan. Beliau mengklasifikasikan pandangan-pandangan tentang konsep ini menjadi beberapa bagian. Pertama, menurut para ahli Ilmu Kalam (Theologi). Mereka berpendapat; sesungguhnya Allah menciptakan manusia dengan ilustrasinya dan hewan dengan ilustrasinya.

Pendapat lain menolak tentang ilustrasi manusia disamakan dengan ilustrasi Tuhan dengan dalih manusia adalah mahluk-Nya yang paling bagus bangun rancang anatominya. Pandangan semacam ini dianggap mengimpang dari dasar-dasar Ilmu Kalam karena Allah tidak sama dngan mahluk-Nya.[5]

Di salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Nabi Muhamad SAW mengatakan, "Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam atas ilustrasi-Nya".

Dari Hadist ini kita bisa tahu kalau sebenarnya ilustrasi Adam adalah bentuk ilustrasi Allah atas Dirinya. Tetapi setelah Hadist ini di teliti dengan sanagt teliti ternyata Hadist ini termasuk Hadist Dzoif. Jadi golongan yang memiliki pandangan Allah tidak mimiliki ilustrasi menjadi semakin kuat pandangannya, kerena ternyata salah satu dalil nakli yang berpandangan bahwa Allah memiliki ilustrasi ternyata hujjahnya dzo'if.[6]

Di sini, pandangan Imam Abu Hasan al-Asy'ari tentang konsep ilustrasi Allah SWT adalah menetapkan adanya ilustrasi Tuhan. Imam al-Asy'ari menggunakan aqidah Imam Ahmad bin Hambal dan Ahlu Sunnah meyakini adanya ilustrasi pada Tuhan yang tidak sama dengan bentuk ilustrasi mahluknya, manusia.

Dalam penjelasan Abi Abdillah bin Abdul al-Aziz at-Tamîmi mengatakan; menurut madzhab Abi Abdullah Ahmad bin Hambal bahwa Allah SWT memiliki ilustrasi. Ilustrasi-Nya tentunya tidak sama dengan ilustrasi yang dimiliki mahluk-Nya, termasuk manusia.[7] Pandangan ini tentunya berdasarkan pada salah satu sifat yang dimiliki Allah, yaitu Laisa Kamislihi Syaiun.

BAB I

Para Pengimpang dan Para Pengusung Bid'ah Theologi

Mu'tazilah dan Qodariyah

Mu'tazilah menurut pandangan orang-orang Islam terjadi perbedaan. Apakah dia termasuk orang iman atau kafir. Di antara kaum muslimin ada yang mengatakan bahwa mereka adalah masih dalam kelompok mereka sedangkan yang lainnya ada yang mengatakan bahwa mereka adalah termasuk orang yang kafir. Dua digma ini, masih dalam perdebatan yang sangat panjang.

Dalam salah satu riwayat, munculnya faham ini adalah akibat pemisahan Wâsil bin Athâ' Majlisu al-Hasan al-Basrî. Madzhab Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Allah SWT dan menolak syafa'at Nabi Muhamad SAW kepada para pembesar Islam.[8]

Dalam tulisan DR. Ahmad Said Hamdan memaparkan tentang al-Qodariyah. Beliau menjelaskan al-Qodariyah adalah nama dari sempalan kelompok Ahlu Sunnah yang meyakini perbuatannya sebagai otoritas bukan atas kehendak Allah. Dalam satu kelompok faham ini dianggap sebagai kaum Majusi atau penganut polytheisme (banyak Tuhan) karena menganggap Tuhan sebagai fariasi saja mengingat digma mereka tentang otoritas mereka yang tanpa batas.

Di dalam salah satu Hadist Nabi pernah menyebutkan bahwa kelompok al-Qodariyah dan yang memiliki faham seirama dengan kelompok ini adalah sesat.[9] Di samping Hadist ini, ada juga perdebatan antara para sahabat tentang Qodariyah. Sahabat Abdullah bin Umar bin al-Ash mengatakan; sesungguhnya Rosulullah pernah melarang kepada kita semua untuk menjahui kelompok Qodariyah.[10] Hadist-Hadist tentang Qodariyah tidak muncul lagi hingga pada pertengahan abat pertama hijriyah akibat berbagai sebab.

Dalam riwayat Imam Muslim dari Yahya bin Ya'mar bahwa; awal dari perbincangan tentan faham Qodariyah adalah bermula dari Mu'bad al-Jahnî di Basrah. Di samping itu pendapat al-Auzâî mengatakan; awal dari pengangkaatan perbincangan tentang faham Qodariyah adalah berakar dari salah satu ahli Irak 'Suusan'. Nama ini menimbulkan perbedaan juga, ada yang mengatakan nama ini adalah berasal dari Majusi ada juga yang mengatakan lain.[11] Diriwayatkan juga bahwa Suusan masuk Islam kemudian mengalami pemahaman yang salah.

Dua hal yang sangat substansial tentang bid'ah yang diusung oleh kelompok Qodariyah adalah; pertama, mengingkari Allah adalah dulu. Kaum Qodariyah berpandangan bahwa Allah adalah baru. Kedua, sesungguhnya hamba Tuhan itu mempunyai otoritas mulak untuk merubah nasibnya sendiri, bukan atas kehendak Allah.

Menurut Ibnu Hajar dari Imam al-Qurtubi bahwa kelompok Qodariyah itu menganggap dirinya (hamba) memiliki otoritas tanpa batas untuk merubah keadaan mereka sendiri. Pandangan ini tentunya sangat bertentangan dengan pendapat kelompok salaf, mereka memiliki pemikiran yang tetap Allah yang akan merubah nasib mereka tapi kita dikasih pilihan untuk merubahnya.

Tentang Ta'wil

Imam Ibnu Taimiyah memberi arti ta'wil dengan tiga makna. Pertama, tidak ada yang mengetahui makna ta'wil selain Allah SWT. Pendapat ini adalah pendapat Imam empat. Kedua, ta'wil adalah tafsirul kalam. Pendapat ini dipakai oleh para mufasir, tentunya siapa yang berhak menafsiri adalah seseorang yang sudah memiliki kriteria sebagai mufasir. Makna yang ketiga, sesungguhnya ta'wil adalah benar adanya.

Tentang ta'wil sifat Allah adalah benar karena sudah dijelaskan dalam kitab-Nya secara tersurat. Tentang Istawa, tentunya yang mengetahui secara pasti adalah Allah. Terkadang kemampuan manusia tidak mampu untuk memahami alam apalagi kata-kata Allah.

Adapun tentang tafsir al-Qur'an menurut Ibnu Abas memiliki empat pandangan. Pertama, tafsir yang difahami oleh orang-orang Arab. Kedua tafsir yang tidak berdasarkan pada salah satu ilmu yang harus ada padanya. Ketiga, yang mengetahui khaliyah tentang tafsir hanyalah para ulama'. Keempat, tafsir yang tidak diketahui ma'nanya kecuali Allah.

Ada juga yang memberi analog tentang ta'wil al-Qur'an diumpamakan seperti pengetahaun tentang hari akhir (yaumul al-qiyamah). Pandangan ini menganggap bahwa yang mengetahui tentang ta'wil hanyalah Allah SWT seperti halnya pengetahuan tentang hari kiamat.

Dalam sebuah riwayat Abu Abdur Rahman as-Salami mengatakan; Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud ketika masih belajar al-Qur'an kepada Rosulullah SAW, Rasulullah hanya mengajarinya sepuluh ayat saja setiap kali pertemuan. Ini adalah bentuk upaya dari kehati-hatian Rosulullah SAW. Tentunya upaya seperti ini bertujuan untuk menghindari kesalah pahaman dalam memberi tafsir atau ta'wil kepada al-Qur'an.

Demikian halnya dengan penuturan as-Sya'bi. Beliau berpendapat tentan khaliyah tafsir atau ta'wil al-Qur'an. Pendapat yang beliau ketengahkan adalah tidak adanya penafsiran dalam al-Qur'an. Penafsiran atau bentuk ta'wil merupakan bentuk bid'ah karena sebenarnya al-Qur'an sudah menjelaskannya atau penjelasan nabi yang tersurat lewat Hadist-Hadistnya.

Pernyataan ini tentunya memiliki perbedaan pandangan pada kelompok yang membenarkan bentuk tafsir atau upaya penta'wilan. Pentahkik (peneliti) kitab ini sepertinya lebih condong pada pendapat yang tidak memperbolehkan bentuk ta'wi l terhadap al-Qur'an. Beliau sepertinya lebih menyetujui pandangan pandangan bahwa yang mengetahui makna al-Qur'an itu hanya Allah SWT.

Beliau juga memaparkan tentang pandangan orang-orang yang menganggap keliru pandangan kelompok Aqliyah (rasionalis). Kelompok ini dianggap sebagai kelompok yang suka memberi pentakwilan-pentakwilan atas al-Qur'an. Beliau juga memaparkan tentan bentuk pentakwilan kelompok Aqliyah; pentakwilan mereka adalah fasid (salah dan menyimpang). Bentuk penta'wian yang salah bagaikan orang atheis yang memberikan ta'wil yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya sudah ada.

Pendapat Murji'ah dan Mu'tazilah Tentang ar-Ru'yah

Kelompok Murji'ah berbeda pendapat tentang ar-Ru'yah. Perbedaan ini bisa kita kelompokkan dalan dua klasifikasi besar yang diantaranya adalah sebagai berikut; pertama, kelompok ini mengatakan bahwa tidak ada bentuk melihat Allah dengan mata kepala seorang hamba. Pendapat kedua mengatakan; Sesungguhnya Allah bisa dilihat dengan mata kepala di akherat kelak.[12]

Kelompok Mu'tazilah sepakat bahwa; Allah Maha Mendengar, Maha Melihat serta tidak memiliki ilustrasi. Sehingga mereka menakik benang merah, kalau Allah SWT tidak bisa dilihat kerena Dia tidak memiliki jisim (ilustasi). Mata kepala manusia ataupun mahluk lainnya tidak memiliki kemampuan untuk melihat-Nya karena dzat-Nya yang tidak dapat dilukiskan dengan logika sederhaana manusia.[13]

Di samping itu, kelompok Mu'tazilah juga sepakat tentang Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala manusia. Tapi dari sini mereka berbeda pendapat tentang; Apakah Allah mampu dilihat dengan hati. Dalam studi kasus ini, Abu al-Hadzîl mengatakan; mayoritas kelompok Mu'tazilah memiliki pandangan kalau Allah mampu dilihat dengan mata hati merekal. Upaya ini adalah bentuk untuk mengetahui Allah SWT. Kelompok lain dari Mu'tailah ternyata tidak sependapat dengan pendapat mayoritas klompok ini. Tentang pendapat kelompok Mu'tazilah yang memiliki pandadangan bahwa Allah tidak dapat dilihat baik dengan mata maupun dengan hati; diusung oleh Hisyam al-Fauthî dan Ibâd bin Sulaiman.[14]



[1] Imam Abu Hasan al-Asy'ari, Maqôlât al-Islâmiyîn, jus I dalam sub judul Qoul al-Mu'tazilah fi Tauhid wa Ghoiri, hal. 235.

[2] Sheikh bin Usaimin, Sharah al-Wâsatiyah, hal. 69

[3] Imam ad-Dzahabi, al-Mîyân, juz II, hal. 420

[4] Hadist ini diriwayatkan oleh; Imam Bukhori (6227), Imam Muslim (2841), Imam Ahmad Juz II (315) dari Abu Hurairah.

[5] Ibnu Khutaibah, Ta'wil Muhtaliful Hadist, hal. 197-199

[6] Hadist "Ala Shaurati Rahman" ini dianggap dzo'if oleh Sheikh al-Bânî (1176).

[7] Abdul Wahid bin Abdul al-Aziz at-Tamîmî, I'tiqâd al-Imam Ahmad, hal. 5

[8] Lihat al-Burhan fî Aqôid Ahli al-Adyân, hal. 26-27, Maqolât al-Islamiyin, Juz I, hal. 335, al-Milal wa an-Nihal li Syahri Sanâti, juz I, hal. 45, I'tiqodât farqu al-Muslimin wa al-Musyrikin, hal. 27

[9] Hadist riwayat Imam Muslim (19), Imam at-Tirmidzi (2157), Imam Ibnu Majah (83), Imam Ahmad, juz II, (444), (476) dan Imam Ibnu Jarir di dalam tafsir 28: 111, dengan sanad Abu Huraira.

[10] Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (85), Khasanah al-Bânî dalam khasiyah al-Masyikâh (1:36), di riwayatkan juga oleh Ahmad dari jalan Khimad (6846) dan dari jalan Abi Muâwiyah (6668), serta dari jalan Anas bin Iyâd dari Abi Khâzam (6702).

[11] Ibnu Said, at-Thobaqot, juz VII, hal. 264

[12] Imam Abu Hasan al-Asy'ari, al-Maqôlât, juz I, hal. 233

[13] Idem, juz I, hal. 235

[14] Op cit, hal. Juz I, hal. 238